Minggu, 13 Maret 2011

Kasus Marsinah Jangan Dilupakan

Hak asasi manusia adalah hak yang dianugerahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa kepada manusia, salah satu contohnya adalah hak untuk hidup. Di Negara Indonesia hak tersebut telah diatur dalam Undang-undang Dasar 1945 dan undang-undang yang lainnya. Sebagai negara demokrasi tentunya bangsa Indonesia menjunjung tinggi hak asasi manusia. Kemudian dalam pelaksanaan, seyogyanya tidak menggagu hak asasi orang lain.

Di zaman era orde baru, pengakuan hak asasi hanyalah sebagai simbolis yang termaktub dalam Undang-undang. Sedangkan dalam pelaksanaanya, tidak sesuai dengan apa yang dibicarakan dalam undang-undang tersebut. Banyak para pelontar kata-kata yang tidak berani menyuarakan kata-katanya karena ketakutan. Mereka takut diculik kemudian dianiaya hingga dibunuh. Akibatnya, pada zaman era tersebut, jarang sekali namanya ‘unjuk rasa’. Para petingi-petinggi bekerja sama dengan TNI untuk meredam segala aksi unjuk rasa sehingga bisa dimungkinkan terjadi pelanggaran HAM. Memang sangatlah berbeda di zaman reformasi ini, hampir setiap jam bahkan setiap detik terdapat unjuk rasa di berbagai belahan bumi pertiwi Indonesia. Masalahnya beranekaragam, mulai dari penuntutan ganti rugi, penolakan penggusuran sampai dengan penolakan Nurdin Halid sebagai calon Ketua PSSI. Pemerintah menghormati dan melindungi cara rakyat untuk menyuarakan hatinya secara langsung selama mereka tidak melakukan tindakan anarkis.
Salah satu peristiwa pada era orde baru yang tak berujung adalah terdapat pelontar suara hati rakyat dalam hal ini adalah aktifis menyuarakan suaranya lewat unjuk rasa. Kejadian ini, tepatnya pada tahun 1993. Hampir seluruh rakyat indonesia tahu tentang kasus tersebut. Ini adalah kasus pembunuhan aktifis pemerhati buruh namanya Marsinah. Barangkali tidak ada kasus kematian seorang pekerja rendahan, yang menyedot perhatian luar biasa, kecuali kasus Marsinah. Kasus relatif serupa semenjak Marsinah, seperti Titi Sugiarti pekerja pabrik tekstil di Bandung, Rusli buruh pabrik pengolahan karet di Medan, atau Sikri bin Yakub buruh perkebunan di Palembang, kurang mendapat atensi masyarakat. Malah kematian misterius Petrus Tomae, pekerja asal Timtim di pabrik semen di Bogor, nyaris dilupakan orang. Mungkin kasus Marsinah, selain pertama kali terjadi, memiliki kelebihan khusus. Kasus Marsinah secara kasat mata bukan perkara kriminal biasa. Terdapat unsur pelanggaran HAM oleh TNI.
Marsinah (lahir 10 April 1969 – meninggal 8 Mei 1993 pada umur 24 tahun) adalah seorang aktivis dan buruh pabrik PT. Catur Putra Surya (CPS) Porong, Sidoarjo, Jawa Timur yang diculik dan kemudian ditemukan terbunuh pada 8 Mei 1993 setelah menghilang selama tiga hari. Mayatnya ditemukan di hutan di Dusun Jegong Kecamatan Wilangan, Nganjuk, dengan tanda-tanda bekas penyiksaan berat. Berikut ini, kilas balik kronologinya:
1. Tanggal 3 Mei 1993, para buruh mencegah teman-temannya bekerja. Komando Rayon Militer (Koramil) setempat turun tangan mencegah aksi buruh.
2. Tanggal 4 Mei 1993, para buruh mogok total mereka mengajukan 12 tuntutan, termasuk perusahaan harus menaikkan upah pokok dari Rp 1.700 per hari menjadi Rp 2.250. Tunjangan tetap Rp 550 per hari mereka perjuangkan dan bisa diterima, termasuk oleh buruh yang absen.
3. Sampai dengan tanggal 5 Mei 1993, Marsinah masih aktif bersama rekan-rekannya dalam kegiatan unjuk rasa dan perundingan-perundingan. Marsinah menjadi salah seorang dari 15 orang perwakilan karyawan yang melakukan perundingan dengan pihak perusahaan.
4. Siang hari tanggal 5 Mei, tanpa Marsinah, 13 buruh yang dianggap menghasut unjuk rasa digiring ke Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo. Di tempat itu mereka dipaksa mengundurkan diri dari CPS. Mereka dituduh telah menggelar rapat gelap dan mencegah karyawan masuk kerja. Marsinah bahkan sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan rekan-rekannya yang sebelumnya dipanggil pihak Kodim. Setelah itu, sekitar pukul 10 malam, Marsinah lenyap.
5. Mulai tanggal 6,7,8, keberadaan Marsinah tidak diketahui oleh rekan-rekannya sampai akhirnya ditemukan telah menjadi mayat pada tanggal 8 Mei 1993, dengan kondisi sangat mengenaskan. Vaginanya, tulang panggul, dan lehernya hancur. Perutnya luka tusukan sedalam 20 cm. Sekujur tubuh memar serta lengan dan tangan lecet.
Berikut ini kilas balik kronologi penyelidikan dan penyelesaian terhadap kasus penculikan dan pembunuhan Marsinah.
1. Tanggal 30 September 1993 telah dibentuk Tim Terpadu Bakorstanasda Jatim untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus pembunuhan Marsinah. Delapan petinggi PT CPS ditangkap secara diam-diam dan tanpa prosedur resmi, termasuk Mutiari selaku Kepala Personalia PT CPS dan satu-satunya perempuan yang ditangkap, mengalami siksaan fisik maupun mental selama diinterogasi di sebuah tempat yang kemudian diketahui sebagai Kodam V Brawijaya. Setiap orang yang diinterogasi dipaksa mengaku telah membuat skenario dan menggelar rapat untuk membunuh Marsinah. Pemilik PT CPS, Yudi Susanto, juga termasuk salah satu yang ditangkap. Baru 18 hari kemudian, akhirnya diketahui mereka sudah mendekam di tahanan Polda Jatim dengan tuduhan terlibat pembunuhan Marsinah. Pengacara Yudi Susanto, Trimoelja D. Soerjadi, mengungkap adanya rekayasa oknum aparat kodim untuk mencari kambing hitam pembunuh Marsinah. Secara resmi, Tim Terpadu telah menangkap dan memeriksa 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan terhadap Marsinah. Salah seorang dari 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan tersebut adalah Anggota TNI. Hasil penyidikan polisi ketika menyebutkan, Suprapto (pekerja di bagian kontrol CPS) menjemput Marsinah dengan motornya di dekat rumah kos Marsinah. Dia dibawa ke pabrik, lalu dibawa lagi dengan Suzuki Carry putih ke rumah Yudi Susanto di Jalan Puspita, Surabaya. Setelah tiga hari Marsinah disekap, Suwono (satpam CPS) mengeksekusinya. Di pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan sejumlah stafnya yang lain itu dihukum berkisar empat hingga 12 tahun, namun mereka naik banding ke Pengadilan Tinggi dan Yudi Susanto dinyatakan bebas. Dalam proses selanjutnya pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan (bebas murni). Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, setidaknya telah menimbulkan ketidakpuasan sejumlah pihak sehingga muncul tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini adalah "direkayasa".
2. Tahun 1994, dibentuk Komite Solidaritas Untuk Marsinah (KASUM). KASUM adalah komite yang didirikan oleh 10 LSM. KASUM merupakan lembaga yang ditujukan khusus untuk mengadvokasi dan investigasi kasus pembunuhan aktivis buruh Marsinah oleh Aparat Militer. KASUM melakukan berbagai aktivitas untuk mendorong perubahan dan menghentikan intervensi militer dalam penyelesaian perselisihan perburuhan. Munir menjadi salah seorang pengacara buruh PT. CPS melawan Kodam V/Brawijaya atas tindak kekerasan dan pembunuhan terhadap Marsinah.
3. Pada tahun 2000, kasus Marsinah dibuka lagi. DNA Marsinah yang diperiksa di Australia sudah diserahkan ke Puslabfor dan hasilnya DNA tersebut sama dengan bercak darah Marsinah yang ditemukan di rumah Direktur PT. CPS Yudi Susanto. Akan tetepi hasilnya berbeda dengan hasil test DNA yang dilakukan oleh mabes POLRI.
4. Tahun 2002, Presiden Megawati Soekarnoputri menyetujui rencana Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk mengusut kasus Marsinah. Dalam perjalanan, ternyata Komnas HAM mengalami kesulitan. Sekjen Komnas HAM Asmara Nababan mengakui adanya sejumlah kendala dalam mengungkap kembali kasus tewasnya Marsinah. Kesulitan tersebut antara lain disebabkan kasus Marsinah sudah pernah disidik dan disidangkan (nedis in idem).
5. Tahun 2010, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengungkap kasus pembunuhan aktivis buruh pabrik, Marsinah. Hingga saat ini komnas HAM masih berupaya untuk cari celah dalam penyelesaian masalah ini.
Karena kasus yang sulit diselesaikan dan terbelit-belit dengan kisah yang sangat tragis maka kisahnya pun menjadi bahan pembicaraan di dunia seni. Oleh Slamet Raharjo, Kisah Marsinah diangkat menjadi sebuah film oleh Slamet Rahardjo, dengan judul "Marsinah (Cry Justice)" (imdb.com). Kemudian, oleh Seniman Surabaya dengan koordinasi penyanyi keroncong senior Mus Mulyadi meluncurkan album musik dengan judul Marsinah dan Sebuah band beraliran anarko-punk yang berasal dari Jakarta bernama Marjinal, menciptakan sebuah lagu berjudul Marsinah, yang didedikasikan khusus untuk perjuangan Marsinah. Selain itu, pernah dipentaskan drama monolog Marsinah Menggugat oleh Ratna Sarumpaet dan Teater Satu Merah Panggung. Ini semua sebagai sebuah bentuk aspirasi rakyat buruh untuk mendesak pemerintah segera menyelesaikan kasus Marsinah. Kasus ini, juga mendapat perhatian dari Organisasi Buruh Dunia (ILO)
Pemerintah hingga saat ini juga masih belum bisa menyelesaikan kasus Marsinah. Padahal kasus pembunuhan yang melibatkan ketua KPK Antasari Azhar dapat terungkap, tetapi untuk seorang buruh pabrik rendahan belum bisa terungkap. Kasus ini barangkali kalah populer dengan kasus yang terjadi saat ini yaitu kasus Gayus Tambunan yang telah menghabiskan uang rakyat dan telah menyeret Jaksa masuk dalam lingkaran suapnya. Petinggi-petinggi negara juga disibukkan dengan isu resuffle dan masalah-masalah politik lainnya. Dengan membebaskan secara murni atas sembilan terdakwa kasus Marsinah oleh Mahkamah Agung, menguak pertanyaan laten, siapa algojo Marsinah sesungguhnya?. Lantas, siapa dan apa kepentingan merekayasa skenario peristiwa itu, sehingga menyeret algojo sesungguhnya?. Kenapa hasil test DNA yang dilakukan mabes POLRI dengan test yang dilakukan di Australia?. Sangat disesalkan jika kasus ini hingga terlupakan. Barangkali di sekitar pertanyaan inilah sisi untuk melakukan babak investegasi baru. Kita sangat berharap komnas HAM mampu memnyelesaikan permasalahan ini, agar tidak berlarut-larut yang akhirnya bisa terlupakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar